
Lalu Aji Pao minta kepada
ketiga Sang agar tempat itu dijadikan daerah pemukiman dan sekaligus
untuk lahan berkebun,berburu dan tempat mengelola hasil hutan. Ketiga
Sang itu akhirnya bersedia mengabulkan permintaan Aji Pao, dan bahkan
menjanjikan untuk ikut mmenjaga keamanan dan keselamatan beliau beserta
keluarga dan pengikutnya. Ternyata pilihan kerabat Sultan Kutai ini
tidak salah,daerah aliran sungai itu memang subur karena hasil panen
yang pertama bulir padinya panjang dan berisi, begitu pula labu parang
yang mereka panen sangat memuaskan . Binatang buruan seperti pelanduk
dan payau mudah didapat, jerat yang di- pasang tak pernah lepas. Begitu
juga lautnya, kaya dengan berbagai macam jenis ikan dan binatang laut
yang dapat dimakan. Demikianlah, setelah Aji Pao dan para pengikutnya
berhasil membuat lumbung yang tidak hanya berisikan padi tapi juga
berbagai jenis palawija,dendeng dan salai. Maka berbaliklah Aji Pao
dengan para pengikutnya ke Kutai untuk memgabarkan situasi dan keadaan
dari daerah yang baru ini kepada masyarakat Kutai. Lalu beliau dan
pengikutnya membawa keluarga masing-masing untuk tinggal di daerah baru
tersebut yang bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Kutai yang ke
16 yaitu Sultan Aji Muhammad Salehuddin (1782-1850), perpindahan itu
diperkirakan sekitar tahun 1826.
Mulai tahun 1826 itulah
Aji Pao diangkat oleh kaum kerabat dan pengikutnya untuk menjadi
petinggi yang pertama di kampung yang belum bernama ini.Seterusnya tidak
diketahui petinggi yang berikutnya karena minimnya literature dan
tulisan tentang perjalanan komunitas masyarakat yang baru ini, yang
jelas kita hanya mengetahui orang pertama yang mendiami sekaligus
pemimpin pertamanya.
Waktu pun terus berjalan,
begitu juga halnya dengan perkembangan masyarakat wilayah pesisir ini
yang awalnya di huni oleh Melayu Kutai, yang dengan ketekunan dan
semangat bisa membangun sistem pasar. Transaksinya dengan jalan barter
atau tukar menukar barang, misalnya mereka menawarkan hasil berkebun,
hasil buruan dan laut untuk ditukarkan dengan alat keperluan rumah
tangga atau barang yang dapat mereka hasilkan, seperti
tembakau,gula,garam,alat-alat berkebun dsb. Dengan tumbuhnya system
pasar membuat kampung itu makin maju dan menarik orang seberang atau
sulawesi yang biasa disebut dengan bugis dan bajao. Hijrahnya orang
sulawesi ini terjadi sejak 1900 an. Kehadiran warga seberang ini membuat
wilayah mereka semakin ramai, sehingga pendatang yang pria menikahi
wanita setempat,begitu juga sebaliknya. Tak ketingga- lan juga melayu
banjar yang datang dari selatan, turut serta membaur dan menetap di
kampung ini.
Karena sulitnya komunikasi
antara mereka yang berbeda bahasa, maka dipakailah bahasa melayu yang
merupakan bahasa trend di waktu itu, karena siaran radio yang menjadi
hiburan masyarakat selalu memakai bahasa melayu dan lagu-lagunya juga
melayu. Penggunaan bahasa melayu jadi bahasa sehari-hari oleh generasi
pertama yang lahir di wilayah ini pada tahun 1920 an dan terus
diwariskan pada generasi berikutnya.
Adanya tatanan masyarakat
yang terus maju serta pertumbuhan penduduk akibat kelahiran dan
bertambahnya jumlah pendatang maka pasar juga ikut berkembang,
sampai-sampai para pedagang cina berbis- nis di wilayah ini, pedagang
cina itu ahli dagang makanya mereka dapat menguasai pasar dalam waktu
singkat dengan cara menawarkan barang yang memang menarik dan disukai
terutama bagi para wanita. Sedangkan di sisi lain, para pedagang cina
itu bermurah hati menawarkan barang dagangannya melalui system “ Ambil
dulu, bayar nantilah”.
Dengan kemurahan hati itu,
tanpa pikir lagi anggota-anggota masyarakatnya pun mengambil, ambil dan
ambil terus, masalah pembayarannya nanti setelah mereka pulang dari
berburu,berkebun dan melaut.Kebiasaan ambil dulu bayar nanti, membuat
pedagang cina terpaksa menuliskan bon untuk setiap transaksi. Bila
penghasilan mencukupi untuk membayar bon maka lunaslah, tapi tak jarang
beberapa orang tak mampu melu- nasi harga barang yang telah di masukkan
di dalam bonnya , sehingga sisa bon yang tidak terbayar itu dimasuk- kan
pedagang cina sebagai hutang.Akhirnya hutang semakin hari semakin
menumpuk, di sisi lain juga nelayan tidak dapat melaut karena cuaca
buruk, maka jalan keluarnya adalah bon,bon dan bon. Dari kebiasaan
ngebon itu timbullah suatu istilah “ Tidak bisa bayar Bon jadi
Hutang,Bontang”. Mulai saat itu masyarakat yang tinggal di muara sungai
api-api mendapat sebutan sebagai masyarakat Bontang, karena tumpukan
lembaran kertas bon yang tak terbayar lalu menjadi hutang.
Dalam cerita yang lain
dari asal muasal Bontang bahwa sekitar 1900 an, sekelompok masyarakat
berdiam di suatu pesisir pantai yang rumahnya berbentuk panggung dan
berada di atas air jika terjadi air pasang,profesi mereka tukang
kayu,petani,nelayan dan pedagang. Kelompok masyarakat ini berasal dari
bermacam-macam suku yang berbeda bahasa seperti
Bajao,Bugis,Kutai,Banjar,Arab dan Melayu. Namun perbedaan bahasa itu
secara bertahap di satukan oleh bahasa melayu yang sampai sekarang tetap
bertahan selama seabad atau seratus tahun. Memang di jaman sebelum
kemerdekaan RI bahasa melayu merupakan bahasa percakapan di wilayah
Kalimantan termasuk serawak,sumatera dan tanah malaka atau Malaysia saat
ini karena di saat itu belumlah ada istilah bahasa Indonesia. Melihat
keadaan masyarakat yang tinggal pesisir ini, seorang bangsawan Kutai
bernama Aji Pao yang tinggal didaerah ini menamakannya BONTANG, yang
singkatannya adalah Bon atau Bond berarti perkumpulan/gabungan dan Tang
yang diambil dari kata Pendatang.
Bontang pertama yang
sekarang di sebut Bontang Kuala merupakan tempat bermukim generasi
pertama dan kedua, setelah generasi yang kedua menikah mencarilah mereka
tempat yang baru di sebelah utara atau Lok Tuan yang transportasinya
menggunakan perahu layar. Dan sebagian lagi menuju ke barat atau ke
daratan yang sekarang di sebut Bontang Baru. Generasi kedua yang lahir
sekitar 1920-1930 an ini jika berkomunikasi dengan keturunannya mereka
menggunakan bahasa melayu, begitu juga dengan saudara,sepupu dan
keponakannya hingga bahasa melayu menjadi bahasa sehari-hari diantara
kelompok masyarakat yang mulai berkem- bang ini. Pengaruh kondisi alam
yang panas karena berada di pesisir pantai, bahasa melayu yang ada di
sini agak kasar dan keras dibandingkan bahasa melayu lainnya atau juga
disebabkan karena pengaruh temperamen atau karakter dari sulawesi.
Dengan ciri bahasa nya maka bahasa disini sebut dengan bahasa bontang
yang induk bahasa nya berasal dari kutai melayu dengan logat bugis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar